Sabtu, 21 Februari 2009

Pemilu : Pilih Figur atau Tokoh?

PEMILU : PILIH FIGUR ATAU TOKOH?

(Tulisan ini dimuat pada Harian Umum OKU Ekspres (Group Jawa Post) pada tanggal 19 Februari 2009)

Pemilihan Umum Legeslatif sebentar lagi akan dilaksanakan secara serentak di Indonesia. Eufhoria hajatan demokrasi yang dilaksanakan lima tahun sekali ini pun sudah jauh-jauh hari muncul di tengah masyarakat. Berbagai bentuk, warna dan ukuran stiker, spanduk, dan baliho partai politik dan nama calon serta slogan visi misi partai atau calon sudah memenuhi jalan, jembatan, warung, tempat-tempat umum, rumah penduduk, batang-batang pohon, tidak hanya di perkotaan saja tetapi sampai ke daerah-daerah terpencil sekalipun. Hal ini bisa jadi menggambarkan besarnya antusiasme masyarakat dalam menyambut momen yang berlabel pemilihan umum atau yang lazim disingkat Pemilu tersebut.

Pertanyaannya adalah, apakah bertebarannya partai politik dan segala sesuatu yang menyertainya justru tidak akan menjadi sebuah potensi ke arah konflik yang sarat dengan nuansa diferensiasi misi yang akan berujung pada lahirnya konflik? Sebab, jika memang yang terjadi adalah sebuah bentuk tingginya kesadaran berdemokrasi, rasanya ini bisa dipahami sebagai sebuah ajang yang sangat positif, tetapi manakala yang terjadi karena adanya peluang yang menjanjikan di balik itu, maka ini patut untuk diwaspadai sebagai suatu gejala kegagalan yang pada ujungnya kerap hanya akan menghasilkan Pemilu yang panas, berdarah-darah dan kembali tidak akan menghasilkan perubahan apa-apa.

Bagaimanapun, semakin suburnya demokrasi sebuah masyarakat akan menjadi indikasi bahwa suatu komunitas semakin dewasa dan ilmiah. Namun permasalahan yang mendasarnya adalah, sudahkah masyarakat menyadari bahwa di balik berbagai perbedaan kepentingan itu tersimpan satu makna dan satu esensi bahwa semuanya mengarah pada kebaikan dan kesejahteraan. Jika kesadaran itu telah ada dalam diri masyarakat, maka fenomena demam parpol seperti sekarang ini patut mendapatkan sambutan hangat, tetapi manakala indikasi ke arah konflik semakin membentuk piramida terbalik, maka masyarakat harus segera mengatur jarak secara profesional. Tentu saja kita setuju dan menunggu pernyataan pertama.

Pun, salah satu yang tidak bisa dipisahkan dari bagian kekritisan masyarakat adalah kecerdasan untuk menentukan pilihan. Masyarakat kerap berhadapan dengan kebingungan dalam menentukan pilihan. Ada banyak faktor yang mendukung adanya dilema ini. Pertama, partai politik yang bersangkutan. Ideologi dan sosok tokoh yang ada di balik partai tersebut kerap sangat menentukan besaran suara partai di suatu daerah. Kedua, visi dan misi serta program yang diusung partai. Dan ketiga, adalah Calon Legeslatif yang diusung partai politik. Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam pemilu, primordialisme masih mampu mempengaruhi perolehan suara calon dan partai politiknya.

Perubahan sistem pemilihan dari sistem coblos partai menjadi sistem pilih langsung mau tidak mau membuat para calon harus berpikir ulang tentang strategi yang mungkin diterapkan dalam menarik massa. Dengan sistem pemilihan secara langsung, praktis wilayah sebaran suara akan meluas dan terjadi perubahan strategi bagi para calon. Itu sama saja artinya, calon yang berlaga dihadapkan pada tingkat kesulitan yang tidak bisa dipandang sederhana. Misalnya pada wilayah kampanye, calon harus ekstra untuk “menjual diri” di hadapan banyak elemen masyarakat. Tidak bisa tidak, “menjual diri” dalam setiap suksesi pemilihan merupakan pilihan yang sangat rasional dalam proses politik. Walau “menjual diri” dipandang kurang sedap, namun dalam perspektif politik, kampanye dengan segala bentuknya adalah jalan yang paling berpengaruh dalam setiap perhelatan yang berlabel Pemilu.

Pada sisi lain, secara finansial, dana yang dibutuhkan jauh lebih besar karena masyarakat yang lebih banyak dengan varian pilihan yang sangat beragam. Pada level ini, kekuatan uang kerap akan sangat menentukan terciptanya keberhasilan promosi seorang calon. Namun, di samping itu juga, para calon juga mulai berhadapan dengan tingkat rasionalitas masyarakat yang sudah cukup cerdas dalam menentukan preferensi politik. Banyak bukti yang sudah menunjukkan bahwa menyuap barang dan uang tidak akan menjamin masyarakat pada suatu komunitas tertentu akan secara praktis menjatuhkan suaranya pada saat prosesi pemilihan berlangsung. Sederhananya, calon harus bekerja dengan keras untuk dapat memenangkan suksesi.

Tibalah kita pada giliran pertanyaan yang paling rumit: Bagaimana menentukan preferensi politik secara objektif dan “menguntungkan” masyarakat? Nyatanya, masyarakat kerap dihadapkan pada pilihan: antara pragmatisme atau idealisme. Pragmatisme berkaitan dengan motivasi kepentingan pribadi yang kerap bermain dalam setiap penentuan suara, sementara idealitas dihadapkan pada keinginan masyarakat untuk tetap memilih sesuai dengan hati nurani.

Pertanyaannya mengerucut lagi: memilih figur atau tokoh? Dua-duanya sebenarnya dapat dipilih, namun kiranya ada perbedaan substansial antara figur atau tokoh. Sebutan tokoh tidak terlepas dari simbol yang ada dalam penyebutan tersebut. Figur lebih erat kaitannya dengan icon saja. Ada faktor eksternal yang lebih dominan, misalnya faktor asal-usul keluarga, kekayaan, dan atau faktor yang sama sekali tidak berkaitan dengan kemampuan dan kualitas. Pada kenyataannya, figur terbukti mampu untuk mendongkrak perolehan suara dan parpol biasanya tidak akan sungkan-sungkan untuk menggunakan figur sebagai “mesin” untuk memperoleh suara dari masyarakat. Dalam beberapa kasus, penggunaan figur turunan raja, kepopuleran, kepangkatan/jabatan ayah atau ibu, dan sebagainya kerap digunakan dalam kampanye. Maka tidak mengherankan jika dalam berbegai bentuk alat peraga kampanye, banyak calon yang menyertakan dengan tegas dan jelas asal-usul, gelar dan kedudukan orang tua atau sosok lain dalam garis keturunannya yang tentu saja mempunyai “nilai jual”.

Sementara itu, tokoh atau ketokohan pada umumnya tidak terlepas dari faktor internal yang bersangkutan. Ketokohan umumnya tercipta karena yang bersangkutan mampu menciptakan berbagai kualitas dirinya sehingga lahirlah sebutan tokoh pada dirinya. Sebutan tokoh muncul pada umumnya karena dedikasi, loyalitas, dan kualitas dari dalam diri yang bersangkutan, bukan karena faktor eksternal. Dalam dirinya melekat pencitraan yang dilatarbelakangi karena pengembangan kemampuan dirinya.

Pada umumnya, para pemilih kerap terjebak dalam preferensi politik figur karena faktor luar tersebut. Dilihat dari sisi rakyat, tentulah terpilihnya tokoh akan memungkinkan yang bersangkutan “berbicara” lebih banyak untuk kepentingan masyarakat. Sementara preferensi politik yang jatuh pada figur akan hanya akan (kembali) membawa implikasi stagnasi karena pada umumnya figur hanya menjadi simbol saja yang pada kenyataannya kerap tidak bisa melakukan apa-apa.

Kaitannya dengan Pemilu 9 April mendatang, menurut hemat penulis, maka pilihan pada tokoh, dengan mempertimbangan berbagai aspek yang ada pada dirinya akan lebih baik dan lebih bisa diandalkan ketimbang memilih figur yang hanya “mengekor” pada kekuatan di luar dirinya. Jadi, mana yang lebih baik: figur atau tokoh? maka jawabannya adalah tokoh. Siapa bakal calon yang layak untuk disebut tokoh? Jawabannya kembali pada hati nurani dan tentu masyarakat sudah bisa memilih dan memilahnya. So, kita tunggu tanggal mainnya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar