Sabtu, 21 Februari 2009

LSM, Masyarakat dan Pemerintah

LSM, Pemerintah dan Masyarakat

*Dimuat pada Harian OKU Ekspres (Sumeks/Japost Group) tanggal 18 Nopember 2008

Fenomena bermunculannya berbagai Lembaga Sosial Masyarakat bukanlah sebuah fenomena baru di negara maju maupun di negara berkembang. Bahkan, fenomena ini telah mewabah hingga ke tataran lokal. Berbagai latar belakang menyertai munculnya lembaga sejenis. Dimana dan bagaimana seharusnya Lembaga Sosial Masyarakat berperan? Kita lihat saja kiprahnya.

Dalam sebuah negara modern atau negara yang sedang menuju ke arah kondisi sebuah negara modern, keberadaan NGO (Non Goverment Organization) atau CSO (Civil Society Organization) atau yang lebih akrab dikenal dengan istilah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) adalah suatu yang sangat mungkin kalaupun tidak bisa dikatakan keharusan. Lembaga semacam ini biasanya lahir dari berbagai aspirasi tentang pentingnya partisipasi masyarakat sosial dalam berbagai dimensi kehidupan sosial manusia. Pun, kalaupun harus dipaksakan, kehadiran Lembaga Sosial Masyarakat ini kerap dijadikan tolak ukur kedewasaan pemerintah dan masyarakat di suatu negara. Seiring dengan diadopsinya semangat tata pemerintahan yang baik (good governance), maka adanya Lembaga Sosial Masyarakat ini layak dan menjadi penting untuk dicermati.

Berbagai prinsip tata pemerintahan yang baik, sebut saja misalnya akuntabilitas, kompetensi, transparansi, equity, penegakan rule of the law, dan atau apapun namanya tentu saja tidak bisa dikerjakan sendiri oleh institusi pemerintah / negara. Tidak mengherankan jika pendistribusian kekuasaan baik secara internal maupun eksternal pemerintah sangat dibutuhkan. Di sinilah kemudian peran Lembaga Sosial Masyarakat seharusnya berperan.

Tidak hanya terbatas pada tataran negara, Lembaga Sosial Masyarakat juga mengerucut hingga ke daerah-daerah. Berbagai nama, bentuk, dan latar belakang kepentingan menyertai munculnya berbagai Lembaga Sosial Kemasyarakatan. Tidak terkecuali di daerah OKU Selatan, OKU timur dan OKU Induk, munculnya Lembaga Sosial Masyarakat di ketiga daerah ini, belakangan sangat marak bak jamur di musim hujan. Inilah yang kemudian menggelitik penulis untuk mempelajari dan mengkaji keberadaan Lembaga Sosial Masyarakat ini.

Pentingnya Lembaga Sosial Masyarakat?

Sejatinya, kehadiran Lembaga Sosial Masyarakat dalam sebuah pemerintahan dengan sistem demokratis akan menjadi tiang penyangga bagi kualitas demokrasi itu sendiri. Adanya demokrasi yang berjalan sendiri tanpa adanya peran serta masyarakat melalui Lembaga Sosial Masyarakat hanya akan menjadi sebuah mimpi belaka. Sebaliknya, membayangkan pemerintah mengawal sendiri demokrasi tentu juga menjadi suatu hal yang mustahil.

Pendistribusian kekuasaan pemerintah kepada banyak lembaga semi negara, misalnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komnas Perlindungan Anak, Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemberantasan Korupsi dan banyak lagi yang lainnya adalah sebuah niatan yang sangat patut mendapat apresiasi positif untuk mendistribusikan pekerjaan pemerintah yang memang tidak sederhana. Tentu saja, disadari bahwa pekerjaan negara yang tidak sederhana (kompleks) tidak bisa ditangani sendiri, apalagi dengan diselingi dengan tuntutan penegakan demokrasi dan good governance yang juga bukan perkara mudah. Itupun masih harus ditimpali dengan berbagai penanganan masalah yang juga tak kunjung henti, mulai dari masalah perdebatan sistem pemerintahan hingga ke masalah penanganan bencana.

Distribusi penanganan persoalan pemerintah yang menyangkut hajat masyarakat banyak kepada lembaga semi negara ini menjadi suatu yang perlu dipandang penting, setidaknya dengan alasan untuk mengurangi dominasi negara, mencegah berbagai praktek buruk birokratis yang biasa diterapkan pada masa Orde Baru, meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan kalau dibentangkan dalam arti luas memberikan ruang dan kesempatan bagi masyarakat untuk terlibat dalam berbagai kebijakan publik. Entah dalam proses pengambilan kebijakan hingga sampai pada pelaksanaannya.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, dimana letak Lembaga Sosial Masyarakat? Keberadaan Lembaga Sosial Masyarakat yang belakangan menjamur pada prinsipnya memiliki posisi yang tidak jauh berbeda dengan lembaga negara atau lembaga semi negara, yaitu memperkuat partispasi dan memberdayakan masyarakat secara nyata.

Lembaga Sosial Masyarakat tentu saja tidak serta merta hadir begitu saja. Dimanapun, Lembaga Sosial Masyarakat muncul sebagai jawaban atas “kemandulan” peran dan fungsi negara / pemerintah yang dinilai kerap terjadi berulang. Di satu sisi, semakin krisinya kepercayaan masyarakat terhadap parlemen (DPR/DPRD) sebagai lembaga untuk menyampaikan aspirasi masyarakat semakin memperkuat keinginan masyarakat tertentu untuk membentuk suatu wadah yang dinilai mampu memperjuangkan kepentingan mereka. Tataran idealnya adalah, Lembaga Sosial Masyarakat dilatarbelakangi oleh semangat untuk mengadakan perubahan.

Perdebatan Keberadaan Lembaga Sosial Masyarakat

Keberadaan Lembaga Sosial Masyarakat di tengah pemerintah dan masyarakat terkadang tidak diterima begitu saja. Munculnya lembaga-lembaga sejenis terkadang mengundang perdebatan di berbagai kalangan terutama pemerintah. Indahnya adalah bahwa adanya perdebatan tersebut menyuarakan semakin dewasa dan kritisnya pemerintah dan masyarakat.

Perdebatan tentang keberadaan Lembaga Sosial Masyarakat ini memiliki kecendrungan mengerucut pada masalah latar belakang dibentuknya lembaga tersebut. Seperti yang telah disinggung di atas bahwa Lembaga Sosial Masyarakat muncul dengan latar belakang yang beragam dan membawa berbagai kepentingan yang terkadang tidak sama dengan apa yang diharapkan oleh pemerintah dan masyarakat. Bahkan, keberadaan Lembaga Sosial Masyarakat terutama di tataran lokal sering dinilai sebagai “pengganggu” oleh sebagian aparat pemerintahan. Untuk itulah kemudian banyak bermunculan solusi untuk menangani Lembaga Sosial Masyarakat ini.

Solusi yang paling sering dicuatkan adalah dengan cara “menggandeng” Lembaga Sosial Masyarakat untuk dijadikan mitra pemerintah dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan publik. Pada dasarnya ini adalah suatu solusi yang ideal mengingat tugas dan fungsi dari kedua lembaga. Namun, memanajemen dua lembaga yang terkadang berbeda keinginan dan kepentingan bukanlah persoalan mudah dan menyamakan persepsi dua kepentingan yang berbeda tidak semudah memegang telinga sendiri, hingga akhirnya solusi ini lebih banyak tidak berhasil.

Perdebatan lain yang juga kerap diwacanakan pemerintah dan masyarakat dalam membenahi Lembaga Sosial Masyarakat yang dianggap mengganggu adalah dengan memperketat syarat bagi pembentukan Lembaga Sosial Masyarakat demikian juga kontrol terhadap organisasi, harus diperkuat lagi. Bukan hanya syarat administratif tetapi juga kerap menyentuh syarat-syarat yang berkaitan dengan keuangan. Gagasan yang sangat debateble. Tentu saja!

Memperketat syarat pembentukan Lembaga Sosial Masyarakat juga ada untung dan ruginya. Adanya persyaratan yang ketat bisa jadi berimplikasi positif dalam artian hanya Lembaga Sosial Masyarakat yang betul-betul memiliki kreadibilita baguslah yang bisa terbentuk dengan eksis. Artinya ada semacam filter pembentukan Lembaga Sosial Masyarakat ini. Tetapi, jika peraturan tentang persyaratan pembentukan tersebut dibuat dan diberlakuan dengan sedemikan ketatnya, sama artinya menutup peluang bagi terbentuknya Lembaga Sosial Masyarakat dan itu sama artinya membunuh karakter demokrasi dan good governance yang sedang dibangun dengan susah payah ini.

Lembaga Sosial Masyarakat dan Uang?

Tidak dapat dipungkiri bahwa argumentasi dan perdebatan miring yang menyertai kehadiran Lembaga Sosial Masyarakat tercermin dalam realitas di tingkat lokal kita. Pernyataan bahwa banyak Lembaga Sosial Masyarakat yang dibentuk dengan tujuan mengganggu pemerintah dan bahkan masyarakat sangat sering terdengar. Mengungkap kebenaran pernyataan yang demikian tentu suatu hal yang sulit namun jika kita mau jujur, kita tidak perlu munafik dengan membantah pernyataan-pernyataan tersebut.

Keberadaan Lembaga Sosial Masyarakat di satu sisi memang dibutuhkan namun ketika lembaga tersebut dicondongkan untuk menekan pemerintah dengan tanpa alasan yang rasional tentu saja menjadi suatu hal yang keliru. Toh, kecendrungannya akan berakhir pada bargaining yang baik dan tentu saja disertai dengan sejumlah rupiah. Praktik Lembaga Sosial Masyarakat yang seperti itu tentu hanya akan menjadikan Lembaga Sosial Masyarakat yang komitmen untuk memberdayakan masyarakat tertekan. Pada gilirannya, Lembaga Sosial Masyarakat tidak lagi mendapat kepercayaan dari masyarakat dan pemerintah. Hal inilah yang terjadi di kebanyakan daerah kita.

Sebaliknya kemudian muncul lagi pertanyaan, mengapa pemerintah dan masyarakat harus kuatir dan takut dengan keberadaan Lembaga Sosial Masyarakat jika tidak melakukan tindakan menyimpang? Mungkin asas bagi-bagi lukak masih menjadi poin penting dalam pola hubungan antar lembaga dan hanya para oknum pelaku-lah yang bisa membantah atau membenarkannya.

Terlepas dari itu semua, keharusan bahwa Lembaga Sosial Masyarakat adalah sebuah lembaga yang hadir dengan misi untuk check and balance terhadap kewenangan pemerintah serta memperkuat interaksi masyarakat dan pemerintah, masyarakat dengan swasta, pemerintah dengan swasta adalah sebuah pegangan yang tidak boleh dinafikan begitu saja. Pemerintah pun hendaknya jangan membuka peluang untuk menumbuh suburkan praktek ‘mengelus-elus” Lembaga Sosial Masyarakat yang “nakal” demi kepentingan kelompok dan individu. Harus diingat bahwa ada kecendrungan bahwa “Lembaga Sosial Masyarakat yang nakal” hanya akan mendekat pada “mereka yang nakal”.

Terpenting adalah, antara Lembaga Sosial Masyarakat dan Pemerintah hendaknya berjalan pada relnya masing-masing agar tidak lagi terjadi benturan-benturan yang tidak seharusnya ada. Agenda penting bagi para Lembaga Sosial Masyarakat adalah meraih kepercayaan dari pemerintah dan masyarakat, sementara agenda pemerintah adalah meningkatkan pelayanan publik. Begitu saja. Semoga mencerahkan kita semua.

Pemilu : Pilih Figur atau Tokoh?

PEMILU : PILIH FIGUR ATAU TOKOH?

(Tulisan ini dimuat pada Harian Umum OKU Ekspres (Group Jawa Post) pada tanggal 19 Februari 2009)

Pemilihan Umum Legeslatif sebentar lagi akan dilaksanakan secara serentak di Indonesia. Eufhoria hajatan demokrasi yang dilaksanakan lima tahun sekali ini pun sudah jauh-jauh hari muncul di tengah masyarakat. Berbagai bentuk, warna dan ukuran stiker, spanduk, dan baliho partai politik dan nama calon serta slogan visi misi partai atau calon sudah memenuhi jalan, jembatan, warung, tempat-tempat umum, rumah penduduk, batang-batang pohon, tidak hanya di perkotaan saja tetapi sampai ke daerah-daerah terpencil sekalipun. Hal ini bisa jadi menggambarkan besarnya antusiasme masyarakat dalam menyambut momen yang berlabel pemilihan umum atau yang lazim disingkat Pemilu tersebut.

Pertanyaannya adalah, apakah bertebarannya partai politik dan segala sesuatu yang menyertainya justru tidak akan menjadi sebuah potensi ke arah konflik yang sarat dengan nuansa diferensiasi misi yang akan berujung pada lahirnya konflik? Sebab, jika memang yang terjadi adalah sebuah bentuk tingginya kesadaran berdemokrasi, rasanya ini bisa dipahami sebagai sebuah ajang yang sangat positif, tetapi manakala yang terjadi karena adanya peluang yang menjanjikan di balik itu, maka ini patut untuk diwaspadai sebagai suatu gejala kegagalan yang pada ujungnya kerap hanya akan menghasilkan Pemilu yang panas, berdarah-darah dan kembali tidak akan menghasilkan perubahan apa-apa.

Bagaimanapun, semakin suburnya demokrasi sebuah masyarakat akan menjadi indikasi bahwa suatu komunitas semakin dewasa dan ilmiah. Namun permasalahan yang mendasarnya adalah, sudahkah masyarakat menyadari bahwa di balik berbagai perbedaan kepentingan itu tersimpan satu makna dan satu esensi bahwa semuanya mengarah pada kebaikan dan kesejahteraan. Jika kesadaran itu telah ada dalam diri masyarakat, maka fenomena demam parpol seperti sekarang ini patut mendapatkan sambutan hangat, tetapi manakala indikasi ke arah konflik semakin membentuk piramida terbalik, maka masyarakat harus segera mengatur jarak secara profesional. Tentu saja kita setuju dan menunggu pernyataan pertama.

Pun, salah satu yang tidak bisa dipisahkan dari bagian kekritisan masyarakat adalah kecerdasan untuk menentukan pilihan. Masyarakat kerap berhadapan dengan kebingungan dalam menentukan pilihan. Ada banyak faktor yang mendukung adanya dilema ini. Pertama, partai politik yang bersangkutan. Ideologi dan sosok tokoh yang ada di balik partai tersebut kerap sangat menentukan besaran suara partai di suatu daerah. Kedua, visi dan misi serta program yang diusung partai. Dan ketiga, adalah Calon Legeslatif yang diusung partai politik. Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam pemilu, primordialisme masih mampu mempengaruhi perolehan suara calon dan partai politiknya.

Perubahan sistem pemilihan dari sistem coblos partai menjadi sistem pilih langsung mau tidak mau membuat para calon harus berpikir ulang tentang strategi yang mungkin diterapkan dalam menarik massa. Dengan sistem pemilihan secara langsung, praktis wilayah sebaran suara akan meluas dan terjadi perubahan strategi bagi para calon. Itu sama saja artinya, calon yang berlaga dihadapkan pada tingkat kesulitan yang tidak bisa dipandang sederhana. Misalnya pada wilayah kampanye, calon harus ekstra untuk “menjual diri” di hadapan banyak elemen masyarakat. Tidak bisa tidak, “menjual diri” dalam setiap suksesi pemilihan merupakan pilihan yang sangat rasional dalam proses politik. Walau “menjual diri” dipandang kurang sedap, namun dalam perspektif politik, kampanye dengan segala bentuknya adalah jalan yang paling berpengaruh dalam setiap perhelatan yang berlabel Pemilu.

Pada sisi lain, secara finansial, dana yang dibutuhkan jauh lebih besar karena masyarakat yang lebih banyak dengan varian pilihan yang sangat beragam. Pada level ini, kekuatan uang kerap akan sangat menentukan terciptanya keberhasilan promosi seorang calon. Namun, di samping itu juga, para calon juga mulai berhadapan dengan tingkat rasionalitas masyarakat yang sudah cukup cerdas dalam menentukan preferensi politik. Banyak bukti yang sudah menunjukkan bahwa menyuap barang dan uang tidak akan menjamin masyarakat pada suatu komunitas tertentu akan secara praktis menjatuhkan suaranya pada saat prosesi pemilihan berlangsung. Sederhananya, calon harus bekerja dengan keras untuk dapat memenangkan suksesi.

Tibalah kita pada giliran pertanyaan yang paling rumit: Bagaimana menentukan preferensi politik secara objektif dan “menguntungkan” masyarakat? Nyatanya, masyarakat kerap dihadapkan pada pilihan: antara pragmatisme atau idealisme. Pragmatisme berkaitan dengan motivasi kepentingan pribadi yang kerap bermain dalam setiap penentuan suara, sementara idealitas dihadapkan pada keinginan masyarakat untuk tetap memilih sesuai dengan hati nurani.

Pertanyaannya mengerucut lagi: memilih figur atau tokoh? Dua-duanya sebenarnya dapat dipilih, namun kiranya ada perbedaan substansial antara figur atau tokoh. Sebutan tokoh tidak terlepas dari simbol yang ada dalam penyebutan tersebut. Figur lebih erat kaitannya dengan icon saja. Ada faktor eksternal yang lebih dominan, misalnya faktor asal-usul keluarga, kekayaan, dan atau faktor yang sama sekali tidak berkaitan dengan kemampuan dan kualitas. Pada kenyataannya, figur terbukti mampu untuk mendongkrak perolehan suara dan parpol biasanya tidak akan sungkan-sungkan untuk menggunakan figur sebagai “mesin” untuk memperoleh suara dari masyarakat. Dalam beberapa kasus, penggunaan figur turunan raja, kepopuleran, kepangkatan/jabatan ayah atau ibu, dan sebagainya kerap digunakan dalam kampanye. Maka tidak mengherankan jika dalam berbegai bentuk alat peraga kampanye, banyak calon yang menyertakan dengan tegas dan jelas asal-usul, gelar dan kedudukan orang tua atau sosok lain dalam garis keturunannya yang tentu saja mempunyai “nilai jual”.

Sementara itu, tokoh atau ketokohan pada umumnya tidak terlepas dari faktor internal yang bersangkutan. Ketokohan umumnya tercipta karena yang bersangkutan mampu menciptakan berbagai kualitas dirinya sehingga lahirlah sebutan tokoh pada dirinya. Sebutan tokoh muncul pada umumnya karena dedikasi, loyalitas, dan kualitas dari dalam diri yang bersangkutan, bukan karena faktor eksternal. Dalam dirinya melekat pencitraan yang dilatarbelakangi karena pengembangan kemampuan dirinya.

Pada umumnya, para pemilih kerap terjebak dalam preferensi politik figur karena faktor luar tersebut. Dilihat dari sisi rakyat, tentulah terpilihnya tokoh akan memungkinkan yang bersangkutan “berbicara” lebih banyak untuk kepentingan masyarakat. Sementara preferensi politik yang jatuh pada figur akan hanya akan (kembali) membawa implikasi stagnasi karena pada umumnya figur hanya menjadi simbol saja yang pada kenyataannya kerap tidak bisa melakukan apa-apa.

Kaitannya dengan Pemilu 9 April mendatang, menurut hemat penulis, maka pilihan pada tokoh, dengan mempertimbangan berbagai aspek yang ada pada dirinya akan lebih baik dan lebih bisa diandalkan ketimbang memilih figur yang hanya “mengekor” pada kekuatan di luar dirinya. Jadi, mana yang lebih baik: figur atau tokoh? maka jawabannya adalah tokoh. Siapa bakal calon yang layak untuk disebut tokoh? Jawabannya kembali pada hati nurani dan tentu masyarakat sudah bisa memilih dan memilahnya. So, kita tunggu tanggal mainnya!